KANDAS
Dalam sepi aku bertanya, apa salahku?? Di manaa letaknya?? Aku hanya ingin sendiri. Hanya dengan angin saja, tak mau yang lain. Hanya angin yg setia kepadaku kala suka dan duka Kuceritakan semua rahasiaku kepadanya, takkan dia berkhianat kepadaku. Dengan hujan air mataku bercampur membasahi idi ini. Dengan batu kulempar semua kesal dan amarahku. Kupandang tali kecil meliliti tanganku.
"Ini gelang untuk kamu, sebagai tanda persahabatan kita. Aku harap, kita terus bersama, melewati tantangan bersama. Suatu saat nanti,pasti kita akan berpisah. Namun itu hanya raga sajaa. Hati dan persahabatan kita akan selalu bersama Aku janji itu!"
"Umm janjii??"kataku.
"Janji," bagaikan tangan dan mata, saat tangan terluka mata akan menangis, namun tangan akan kembali menghapus air mata itu. Itulah aku dan Arvi, selalu berbagi dalam sukd.an duka, susah senang bersama, tertawa bersama,menangis bersama. Ribuan kenangan terukir, entah sudah berapa banyak senja yang kita habiska bersama. Diriku tak bisa menghitungnya. Gelang sahabat itu menjadi saksibisu kebersamaan kita. Saksi bisu kisah kasih terurai.
Hingga suatu hari, semua itu berubah 360°. Sapaan paginya menjadi acuhannya. Tatapan kenyamanannya menjadi tatapan elang. Kata mutiara dan nasehatnya menjadi sindiran pedang yang menusuk dada ii. Diam seribu bahasa, bagai tak kenal lagi ketika bertatap muka. Sungguh, Tuhan apa yang terjadi? Aku tidak tahu, aku tidak paham dengan semua ini. Tolong aku Tuhan, semua ini bagaikan sebuah kejutan teramat istimewa bagiku.
Kenangan yang telah kita ukir bersama, bagaikan kayu dimakan api. Lenyap. Hilang sudah. Kata-kata mutiara dan janjinya . Emas tembaga, palsu! Dalam malam aku menangis, bersama dinginnya malam aku selalu bertanyapertanyaan yang sama, pertanyaan yang tak pernah ia jawab dan mungkin takkan pernah ia jawab sampai kapanpun.
Cukup sudah, aku lelah, aku bosan dengan semua ini. Kutarik gelang yang lingkari tanganku yang tlah pucat. Kuremas dengan amarahku, "Mungkin aku salahsalah menganggapmu sahabatku. Bagiku, menganggapmu sahabatku adalah kebodohan terbesar dalam hidupku! Kau adalah penglhianat!"
"PENGKHIANAT!!!" teriakku, kulempar sejauh mungkin gelang bisu agar tak kembali. Kulempar semua kenangan yang terrekam olehnya. Air mata semakin meluncur dengan hebatnya dibawah hujan. Lemas badan aku bersimpuh dibawah hujan yang seakan mengerti kataahati yang mulai tersakiti di kala janji tlah diingkari. Tak maompu untukku sampaikan lewat uraian kata, hanya tangis yang dapat mengisyaratkan. Lewat tangis kuceritakan kepada dunia betapa peihnya hati ini.
"Sudi sekali kau menangisinya. Percuma air matamu," seseorang menghentikan tangisku. Dari suaranya aku tahu itu. Ya benar ia. Orang yang selalu mengganguku. Kini ia memayungiku
"Bangun-bangun. Ayo pulang, nanti kamu sakit lagi," katanya lembut. Ia membantuku berdiri, merangkulku mngajakku pergi dari tempat itu. Seperti terhipnotis olehnya, kuturuti perintahnya. Perintah orang yang takku kenal sebegitu seperti pengkhianat itu.
Dia membawaku ke satu tempat, yaa aku tau tempat ini. Rumah Imel sahabatku sahabatku dari taman kanak-kanak hingga sekarang. Namun, semenjak aku dengan pengkhianat itu, hubungan kami metenggang, kami jarang berbagi kisah, bahkan kami jarang bertemu.
Perempuan itu pernah berkata bahwa aku harus menjauh dari Arvi, karna dia bukan anak baik-baik. Perkataan itulah yang membuatku murka dengannya, hingga adu mulut dengan sahabat kecilku,, membuat jarak diantara kita. Namu sekarang, yaa Imel benar. Dia bukan anak baik.baik.
"Kamu benar Mel, dia jahat Mel. Aku benci!" Ime memelukku erat. Ia trsenyum, melepaskan pelukan kasih sayangnya Ia memberiku teh hangat dan menyuruhku berganti pakaian, aku menurutinya. Selesai ganti, kuceritakan semunya pada Imeldan lelakivyang menghantarkanku dirumah ini. Butir betlianku pecah gakterbendung, mengalir begitu saja tanpa izin dipipiku. Kertas putih yang lembuh itu tlah hbis untuk menghapusnya.
Malam datang, hujan masih berpihak kepadaku. Langit seperti ikut merasakan sakit yang diderita gadis polos ini. Bulan dabn biintang seakan ikut dendam dengannya hingga ia ytak mau menampilkan dirinya
"Hhuss. Nanda pasti kuat. Masih ada Imel disini. Nanda yang kukenal orangnya kuat. Bukan lemah. BTW udah malem sayang, Nanda pulang dulubyaa. Takut dicariin ibuk. Ekhm.. anggap aja dia udah mati jadi ngga usah Nanda pikirin okee. Ka anterin Nanda pulang gih.
Voka. Maafin aku, aku selalu berpikir buruk tentangmu, aku salah. Maukan maafjn aku??"
"Santai aja kali, maafin kokk. gih masuk tidur, jaga kesehatan. 'Nice dream bye'.," kata Voka. Ya dia Voka, lelaki baik , namun aku selalu berpikir buruk tentangnya.
Tak mudah bagiku mnghapus kenangan bersamanya. Namun, seenjak Voka hadir, ia selalu membantuku melupakannya. Malam Minggu ini, ditemani sinar bulan dan kerlip bintang aku memandag lembaran foto seorang gadis dengan lelaki, namu tiba-tiba mataku tertutup tangan, lalu didepanku ada es krim. Dan ternyata itu Voka. Kusambar es krim dari tangannya, lalu ia menyambar foto yang kupegang lalu ia tertawa. Tak lama ia mengambil korek apibdisampingku dan mulai membkarnya. Tak masalah karna itulah tujuanku menghanguskan foto sejarah itu.
Dalam sepi aku bertanya, apa salahku?? Di manaa letaknya?? Aku hanya ingin sendiri. Hanya dengan angin saja, tak mau yang lain. Hanya angin yg setia kepadaku kala suka dan duka Kuceritakan semua rahasiaku kepadanya, takkan dia berkhianat kepadaku. Dengan hujan air mataku bercampur membasahi idi ini. Dengan batu kulempar semua kesal dan amarahku. Kupandang tali kecil meliliti tanganku.
"Ini gelang untuk kamu, sebagai tanda persahabatan kita. Aku harap, kita terus bersama, melewati tantangan bersama. Suatu saat nanti,pasti kita akan berpisah. Namun itu hanya raga sajaa. Hati dan persahabatan kita akan selalu bersama Aku janji itu!"
"Umm janjii??"kataku.
"Janji," bagaikan tangan dan mata, saat tangan terluka mata akan menangis, namun tangan akan kembali menghapus air mata itu. Itulah aku dan Arvi, selalu berbagi dalam sukd.an duka, susah senang bersama, tertawa bersama,menangis bersama. Ribuan kenangan terukir, entah sudah berapa banyak senja yang kita habiska bersama. Diriku tak bisa menghitungnya. Gelang sahabat itu menjadi saksibisu kebersamaan kita. Saksi bisu kisah kasih terurai.
Hingga suatu hari, semua itu berubah 360°. Sapaan paginya menjadi acuhannya. Tatapan kenyamanannya menjadi tatapan elang. Kata mutiara dan nasehatnya menjadi sindiran pedang yang menusuk dada ii. Diam seribu bahasa, bagai tak kenal lagi ketika bertatap muka. Sungguh, Tuhan apa yang terjadi? Aku tidak tahu, aku tidak paham dengan semua ini. Tolong aku Tuhan, semua ini bagaikan sebuah kejutan teramat istimewa bagiku.
Kenangan yang telah kita ukir bersama, bagaikan kayu dimakan api. Lenyap. Hilang sudah. Kata-kata mutiara dan janjinya . Emas tembaga, palsu! Dalam malam aku menangis, bersama dinginnya malam aku selalu bertanyapertanyaan yang sama, pertanyaan yang tak pernah ia jawab dan mungkin takkan pernah ia jawab sampai kapanpun.
Cukup sudah, aku lelah, aku bosan dengan semua ini. Kutarik gelang yang lingkari tanganku yang tlah pucat. Kuremas dengan amarahku, "Mungkin aku salahsalah menganggapmu sahabatku. Bagiku, menganggapmu sahabatku adalah kebodohan terbesar dalam hidupku! Kau adalah penglhianat!"
"PENGKHIANAT!!!" teriakku, kulempar sejauh mungkin gelang bisu agar tak kembali. Kulempar semua kenangan yang terrekam olehnya. Air mata semakin meluncur dengan hebatnya dibawah hujan. Lemas badan aku bersimpuh dibawah hujan yang seakan mengerti kataahati yang mulai tersakiti di kala janji tlah diingkari. Tak maompu untukku sampaikan lewat uraian kata, hanya tangis yang dapat mengisyaratkan. Lewat tangis kuceritakan kepada dunia betapa peihnya hati ini.
"Sudi sekali kau menangisinya. Percuma air matamu," seseorang menghentikan tangisku. Dari suaranya aku tahu itu. Ya benar ia. Orang yang selalu mengganguku. Kini ia memayungiku
"Bangun-bangun. Ayo pulang, nanti kamu sakit lagi," katanya lembut. Ia membantuku berdiri, merangkulku mngajakku pergi dari tempat itu. Seperti terhipnotis olehnya, kuturuti perintahnya. Perintah orang yang takku kenal sebegitu seperti pengkhianat itu.
Dia membawaku ke satu tempat, yaa aku tau tempat ini. Rumah Imel sahabatku sahabatku dari taman kanak-kanak hingga sekarang. Namun, semenjak aku dengan pengkhianat itu, hubungan kami metenggang, kami jarang berbagi kisah, bahkan kami jarang bertemu.
Perempuan itu pernah berkata bahwa aku harus menjauh dari Arvi, karna dia bukan anak baik-baik. Perkataan itulah yang membuatku murka dengannya, hingga adu mulut dengan sahabat kecilku,, membuat jarak diantara kita. Namu sekarang, yaa Imel benar. Dia bukan anak baik.baik.
"Kamu benar Mel, dia jahat Mel. Aku benci!" Ime memelukku erat. Ia trsenyum, melepaskan pelukan kasih sayangnya Ia memberiku teh hangat dan menyuruhku berganti pakaian, aku menurutinya. Selesai ganti, kuceritakan semunya pada Imeldan lelakivyang menghantarkanku dirumah ini. Butir betlianku pecah gakterbendung, mengalir begitu saja tanpa izin dipipiku. Kertas putih yang lembuh itu tlah hbis untuk menghapusnya.
Malam datang, hujan masih berpihak kepadaku. Langit seperti ikut merasakan sakit yang diderita gadis polos ini. Bulan dabn biintang seakan ikut dendam dengannya hingga ia ytak mau menampilkan dirinya
"Hhuss. Nanda pasti kuat. Masih ada Imel disini. Nanda yang kukenal orangnya kuat. Bukan lemah. BTW udah malem sayang, Nanda pulang dulubyaa. Takut dicariin ibuk. Ekhm.. anggap aja dia udah mati jadi ngga usah Nanda pikirin okee. Ka anterin Nanda pulang gih.
Voka. Maafin aku, aku selalu berpikir buruk tentangmu, aku salah. Maukan maafjn aku??"
"Santai aja kali, maafin kokk. gih masuk tidur, jaga kesehatan. 'Nice dream bye'.," kata Voka. Ya dia Voka, lelaki baik , namun aku selalu berpikir buruk tentangnya.
Tak mudah bagiku mnghapus kenangan bersamanya. Namun, seenjak Voka hadir, ia selalu membantuku melupakannya. Malam Minggu ini, ditemani sinar bulan dan kerlip bintang aku memandag lembaran foto seorang gadis dengan lelaki, namu tiba-tiba mataku tertutup tangan, lalu didepanku ada es krim. Dan ternyata itu Voka. Kusambar es krim dari tangannya, lalu ia menyambar foto yang kupegang lalu ia tertawa. Tak lama ia mengambil korek apibdisampingku dan mulai membkarnya. Tak masalah karna itulah tujuanku menghanguskan foto sejarah itu.